Pengalaman yang cukup menyeramkan dan
membuat kami sekeluarga trauma dan berpikir
ribuan kali untuk tidak sembarangan lagi berhenti
di jalan, apalagi singgah di sebuah warung
makan pecel lele. Waktu itu saya masih tinggal
di daerah kota Surabaya. Kami sekeluarga akan
pergi ke Yogyakarta menggunakan kendaraan
pribadi. Sejak pagi-pagi sekali, saya dan
keluarga sudah sibuk menyiapkan segala hal.
Kami berniat akan berlibur sekaligus silaturahim
ke rumah keluarga di Yogyakarta.
Rencananya kami berangkat dari kota Magelang
pada sore hari, biar perjalanan lebih santai.
Namun tujuan utama untuk menghindari
keramaian jika melakukan perjalanan jarak jauh
siang hari. Akhirnya berangkatlah kami
sekeluarga dari Surabaya sekitar jam 4 sore, rute
yang kami ambil adalah melalui jalur utara.
Selama perjalanan kami tidak memiliki firasat
buruk apapun.
Dan di dalam perjalanan panjang pun di mulai.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, dan adzan
maghrib sudah berkumandang. Kami
memutuskan untuk istirahat sejenak di masjid
sekaligus menunaikan shalat maghrib. Setelah
selesai shalat dan istirahat sejenak, kami pun
melanjutkan perjalanan . Semakin jauh kami
melaju semakin larut malam yang menemani
perjalanan, yang semula di awal perjalanan,
suasana di dalam mobil begitu ramai dan penuh
canda tawa saya dan kakak saya, berubah
perlahan menjadi suasana sepi.
Ibu dan kakak saya sudah tidur terlelap, yang
masih terjaga saat itu hanya saya dan bapak
yang lagi menyetir mobil . Jam menunjukan pukul
10.30 malam, kami sudah memasuki area Alas
perhutanan, jalanan berliku di tengah hutan dan
tanah alas, jauh dari kehidupan kota. Di sini
suasana sudah mulai mencekam, bapak
mengurangi laju kecepatan mobil karena kondisi
jalan yang gelap dan berliku penuh tanjakan
turunan yang kiri dan kanannya jurang.
Saya dan bapak merasa ada hal yang ganjil dan
aneh, sejak kami memasuki area alas hutan,
kami tidak berpapasan dengan kendaran lain
seperti bus antar provinsi maupun kendaraan
lainnya, padahal jalur ini termasuk rute yang
sering digunakan untuk menuju kota Tegal.
*Brak! Astagfirullah tiba-tiba mobil yang kami
naiki menabrak sesuatu di tengah jalan.
Bapak langsung menepikan mobil ke pinggir dan
mengambil senter yang ada di dashboard. Saya
dan bapak kemudian turun dari mobil melihat
situasi apa yang terjadi. Ibu dan kakak yang
terbangun mendengar suara benturan tadi,
langsung panik dan mau keluar mobil, namun
bapak melarangnya dan menyuruh ibu dan kakak
tetap di dalam.
Saya lalu bergegas memeriksa bagian depan
mobil dan bapak memeriksa bagian bawah
sampai belakang mobil. Saya benar-benar yakin
benturan sekeras tadi seharusnya bisa membuat
bemper mobil penyok atau memecahkan lampu
kabut mobil, namun setelah saya periksa dengan
seksama, tidak ada satu pun goresan di bagian
depan mobil, bahkan debu dan sedikit lumpur
yang menempel pada bemper mobil pun masih
utuh tak tersentuh. Jujur saja, saya kaget
sekaligus heran.
Bapak yang memeriksa bagian bawah sampai
belakang mobil juga tidak menemukan benda
yang kami tabrak tadi. Kemudian saya
memanggil bapak agar ikut memeriksa bagian
depan mobil, mungkin dengan mencari berdua
bisa menemukan kerusakan mobil akibat
benturan keras tadi. Kami sudah memeriksa
beberapa kali, setiap sudut bagian depan mobil,
tidak ada satupun bekas benturan. Lalu, apakah
yang kami tabrak tadi?
Karena kami merasa ada yang tidak beres, saya
dan bapak lekas masuk kedalam mobil untuk
melanjutkan perjalanan. Kedua adik saya
langsung pindah posisi duduk, yang semula
duduk di kursi belakang pindah ke kursi tengah
bersama ibu, dan saya duduk di kursi depan
menemani bapak. Kami pun terus melaju di
kegelapan malam Alas Roban , saat itu jam
menunjukan pukul 1 malam.
Kakakku sudah tertidur lagi, yang terjaga kali ini
saya, bapak dan ibu. Tidak lama kemudian,
hujan mulai turun, hujannya hanya rintik-rintik
namun cukup menggangu pandangan, sampai
bapak harus membunyikan klakson di setiap
akan memasuki tikungan yang tajam. Saya dan
ibu sengaja tidak membahas kejadian tadi, agar
bapak tetap tenang dan bisa berkonsentrasi di
jalan.
Lalu dari kejauhan terlihat ada sepercik cahaya
neon. Alhamdulilah, sudah terlihat pemukiman,
setelah semakin dekat ternyata itu sebuah
warung makan pecel lele kecil tepat di sudut
tikungan di bawah pohon, untuk menenangkan
suasana kami memutuskan untuk singgah
sejenak. Saya dan keluarga turun dari mobil,
entah karena mengantuk atau ceroboh, kaki saya
terbentur pasak penanda kilometer area.
Tertulis disitu kilometer 14, saya dan keluarga
masuk ke dalam warung makan tersebut. Pemilik
warung makan tersebut menyambut kami dengan
ramah tamah, dengan logat khas Pekalongan.
Kami memesan makanan dan minuman panas,
yang harganya juga bisa terbilang murah. Iseng-
iseng saya bertanya kepada pemilik warung
makan ini.
“Kenapa jam segini masih buka pak warung
makannya? Bapak jualannya sendirian?”.
“Iya dik, ini sudah mau tutup kok, eh adik
datang, saya jualan sama istri saya. Itu istri
saya”.
Saya dan bapak kaget, sejak kapan ada orang
yang berdiri di samping pintu masuk warung
makan. Padahal tadi kami masuk lewat arah
yang sama dan sekitarnya pohon besar. Ya
sudahlah, saya tidak terlalu memperdulikannya,
karena perhatian saya tertuju pada ayam yang
sedang di goreng.
Kami makan dengan lahap, dan ternyata rasa
sambalnya enak, sangat cocok di lidah. Sampai
saya nambah sambalnya lagi. Setelah kenyang
menyantap ayam goreng. Kami bergegas kembali
ke mobil, saat mau masuk mobil, kaki saya
terbentur pasak penanda kilometer 14 tadi untuk
kedua kalinya. Oke saya ceroboh, karena letak
pasak itu persis di dekat pintu mobil, jadi wajar
kalau saya terbentur pasak itu.
Mobil kami pun mulai melaju di temani hujan
rintik-rintik yang terus menguyur area alas hutan.
Setelah beberapa saat akhirnya kami keluar dari
area alas hutan dan menuju Yogyakarta. Singkat
cerita, kami sudah menyelesaikan liburan kami di
Yogyakarta, karena tidak ingin mengalami
kejadian seperti kemarin lagi. Bapak
memutuskan untuk berangkat dari Yogyakarta
pagi hari jadi ketika memasuki alas hutan lagi,
hari masih siang.
Setelah berjam-jam kami menempuh perjalanan.
Kami memasuki area alas hutan sekitar jam 2
siang. Lalu saya penasaran dengan warung
makan pecel lele yang waktu itu kami singgahi.
Rasa sambalnya enak, namun sayangnya, warung
makan pecel lele biasanya buka ketika sore
menjelang malam hari. Bapak saya tiba-tiba ingin
buang air kecil. Bapak kemudian menepikan
mobil di tikungan jalan yang agak luas, dan
segera turun untuk buang air kecil mepet dengan
mobil.
Sambil istirahat sejenak sekaligus menikmati
pemandangan Alas Roban di siang hari, tidak di
pungkiri kalau pemandangan Alas Roban sangat
indah. Kemudian saya melihat pasak kilometer
bertuliskan kilometer 14. Saya kaget luar biasa.
Itu pasak yang terbentur kakiku tempo hari dan
posisi pasak itu persis di tepi jurang. Seingatku,
posisi warung makan pecel lele waktu itu kira-
kira 3 meter di belakang pasak tadi. Saya
langsung memanggil bapak dan ibu, lalu
menujukan pasak tadi dan lokasi warung makan
pecel lele.
Setelah di amati, tikungannya persis seperti
waktu itu, ada pohon besar di tepi jalan dan
pasak bertuliskan kilometer 14, namun 1 meter di
belakang pasak itu sudah jurang yang sangat
dalam. Jadi kesimpulannya, waktu itu kami
sedang makan di pinggir jalan yang bertepatan
melayang di atas jurang . Hanya satu hal yang
bisa menjelaskan kejadian tersebut, yaitu kami
sekeluarga sudah singgah di sebuah tempat gaib
yang menjadi warung makan pecel lele.
0 komentar:
Posting Komentar